Lokakarya pelatihan, Jakarta 8 Juni 2021.
Pelatihan MENTARI tentang ‘Pengelolaan jaringan dan integrasi energi terbarukan dalam transisi energi’ pada 8–10 Juni 2021 dirancang untuk mendorong diskusi tentang agenda transisi energi Indonesia dan belajar melalui program kerja sama bilateral Inggris–Indonesia.
Pelatihan ini ditujukan untuk membantu pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KemenESDM) untuk melakukan pengembangan, negosiasi, dan pelaksanaan strategi energi terbarukan yang progresif untuk dekarbonisasi pada tingkat nasional dan daerah. Kementerian dan lembaga lain mendukung transisi energi bersih di Indonesia, termasuk perusahaan listrik negara, PLN, sebagai aktor utama negara ini dalam bisnis pasokan listrik.
Chrisnawan Anditya, dari KemenESDM, membuka acara ini dengan mengatakan bahwa pemerintah bertekad untuk mencapai kontribusi 23 persen dari energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada tahun 2025, sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional. Dengan kontribusi energi terbarukan yang baru mencapai angka 11,2 persen pada tahun 2021 dari pembangkit listrik dengan kapasitas 10,4GW, artinya pemerintah mempunyai tugas besar dan waktu kurang dari lima tahun untuk mencapai target.
Sebagai bagian dari upaya mempercepat transisi energi, KemenESDM menerapkan, contohnya, pendekatan B30 co-firing – menggantikan 30 persen solar dengan biodiesel dalam beberapa industri tertentu – yang bisa berfungsi dengan teknologi yang ada. Tapi, Chrisnawan melanjutkan, “Pemerintah juga telah melakukan konversi sumber energi primer fosil dengan mengubah teknologi pembangkitan, contohnya, sehingga pembangkit listrik tenaga diesel atau pembangkit listrik tenaga uap berubah menjadi pembangkit listrik energi terbarukan. Kemudian [kami juga mendorong penggunaan] biogas, pellet, minyak tanah, dan bahan bakar gas cair untuk memasak. Dan juga terdapat tambahan kapasitas energi baru terbarukan untuk memenuhi permintaan baru, dengan peningkatan yang berfokus pada pembangkit listrik tenaga surya, mengingat waktu pembangunan yang relatif singkat. [Langkah-langkah lain di antaranya] menerapkan penggunaan listrik dan bahan bakar, seperti briket biomassa untuk mengeringkan produk pertanian dan biogas.”
Lokakarya pelatihan tiga hari ini menjadi peluang untuk berbagi dan belajar dari Inggris tentang pengintegrasian energi terbarukan ke dalam jaringan listrik, termasuk untuk berbagai pulau, dan khususnya tentang pengadaptasian kebijakan pemerintah.
Alex Barton, Wakil Ketua Tim Energi Rendah Karbon dan Infrastruktur, Kedutaan Besar Inggris Jakarta, mengatakan bahwa ia telah melihat kemajuan yang menggembirakan untuk transisi energi di Indonesia selama dua bulan sebelumnya. Indonesia juga menegaskan kembali komitmennya untuk bergeser dari ketergantungannya pada batu bara ke energi terbarukan, “Ini adalah komitmen sangat menarik yang telah dibuat oleh Indonesia, dan Inggris menghargai hal ini dan sangat mendukungnya. Kami memahami bahwa perjalanan ini tidak mudah dan memerlukan pendanaan substansial untuk membiayai kebijakan dan proses perencanaan baru di Indonesia, agar bisa menyediakan energi terbarukan tingkat tinggi dan menjaga semangat yang telah menjadi komitmen. Sebagai sahabat Indonesia, Inggris siap mendukung Indonesia menjalani proses ini melalui program MENTARI.”
Lokakarya pelatihan ini akan memberikan input berharga bagi Indonesia, dengan peluang untuk belajar dari berbagai sumber, termasuk Aquatera. Dr. Leuserina Garniati, fasilitator pelatihan dan konsultan senior untuk energi berkelanjutan untuk Aquatera membuka lokakarya pelatihan dengan menggambarkan penerapan energi terbarukan di negara kepulauan seperti Indonesia sebagai suatu ‘seni’.
Darurat iklim dan respons COVID-19
Gareth Davies membahas keadaan dunia saat ini pada awal lokakarya pelatihan. Ia membicarakan tentang reaksi orang-orang saat menghadapi pandemi COVID-19 yang menerjang dunia dan bagaimana keadaan darurat ini memaksa orang untuk memilih antara mengubah kebiasaan dan tetap selamat dan sehat, dan melanjutkan seperti normal dengan risiko terinfeksi COVID-19 dan mungkin menjadi sakit atau meninggal karena gaya hidup mereka.
Pemberian edukasi intensif tentang COVID-19 membuat orang menjadi patuh, dan mereka cenderung mengambil pilihan terbaik dengan mematuhi protokol kesehatan agar tetap sehat. Gareth percaya bahwa upaya serupa untuk kesadaran publik di seluruh tingkat masyarakat harus dilakukan tentang perlunya menjaga bumi dan isinya, dan untuk melihat bahaya nyata dari ‘darurat iklim’ yang lebih bahaya bagi dunia dibandingkan ‘darurat COVID-19’. Seperti yang dikatakan Gareth, “Tapi hal lain yang menurut saya sangat menarik selama 18 bulan terakhir adalah dampak COVID-19. Dalam masyarakat di seluruh dunia, jika diminta, orang ternyata bersedia untuk mengubah cara hidup mereka (agar terlindung dari paparan COVID-19), dan penting ketika kita pikirkan (dan terapkan hal ini) ke keadaan darurat iklim karena hal inilah yang lebih penting dan lebih mengancam dibanding COVID-19.”
Belajar dari negara lain sangat penting dan saat ini, Skotlandia menjadi contoh terkait energi terbarukan, khususnya energi angin melimpah yang dimilikinya. Bahkan tahun lalu 97 persen permintaan listrik di Skotlandia berasal dari energi terbarukan. Selain kita, kita perlu terus berpikir tentang efisiensi dan untuk tidak menggunakan energi secara boros.