The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021, suatu forum energi baru terbarukan dan konservasi energi untuk transisi energi untuk mencapai zero-emission, berlangsung dari tanggal 22 hingga 27 November 2021 secara virtual. Platform ini mengundang pengunjung untuk menikmati berbagai kegiatan virtual, termasuk konferensi, pelatihan, pameran, kunjungan lapangan, bursa kerja, presentasi bisnis, dan business matching. Program MENTARI sepenuhnya mendukung acara ini.
MENTARI adalah kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Inggris melalui Kedutaan Besar Inggris di Jakarta untuk mendukung transisi menuju energi rendah karbon dan mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. MENTARI terlibat dalam berbagai kegiatan selama Indonesia EBTKE ConEx 2021, termasuk diskusi yang difasilitasi bersama berjudul: ‘Perbincangan mini-grid: Bagaimana kita memonetisasi mini-grid di Indonesia? Acara ini berlangsung di platform Zoom pada tanggal 23 November 2021.
Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Julio Retana, Ketua Tim Program MENTARI, bersama-sama memandu acara ini. Para pembicara mencakup: Surgadiana Pamungkas dari TMLEnergy, Amelia Buddhiman dari Akuo Energy, dan Fajar Sastrowijoyo dari Syntex Energy & Control. Peserta lain di antaranya: Didit Waskito dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Daniel Tampubolon dari PLN di Nusa Tenggara Timur; dan Pariphan Uawithya dari Rockefeller Foundation. Fabby Tumiwa, Direktur IESR, menjadi moderator diskusi.
Chrisnawan memulai diskusi dengan menjelaskan nilai energi terbarukan off-grid, khususnya dalam menyediakan listrik bagi penduduk yang tinggal di daerah terpencil. Sektor swasta dan PLN, sebagai perusahaan listrik negara, perlu ikut terlibat dalam layanan dan pembangkit listrik energi terbarukan off-grid. Sementara itu, berbagai layanan ini dapat dikelola oleh badan usaha milik desa atau koperasi setempat untuk memastikan layanan yang berkelanjutan. Pemerintah daerah juga harus membekali sumber daya manusia dengan keterampilan untuk merancang, membangun, dan mengelola berbagai proyek energi terbarukan ini serta teknologi baru yang diperlukan.
Julio Retana setuju, tapi ia menekankan bahwa, “Sistem ini bukan hanya terkait peralatan dan kabel dan baterai, tapi juga menciptakan pergeseran paradigma di masyarakat.”
Julio menjelaskan bahwa tujuannya di sini adalah agar masyarakat dapat memiliki, mengelola, dan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga surya (sistem fotovoltaik) dan bisa mandiri setelah proyek ini berakhir. Oleh sebab itu, sejalan dengan pembangunan pembangkit listrik ini, MENTARI juga membangun infrastruktur untuk badan usaha yang akan mengelolanya, dimulai dengan mengadakan pelatihan teknis. Rencananya, warga desa akan memasang sistem listrik yang sesuai di rumah mereka masing-masing.
Diskusinya beralih ke aspek logistik dalam pengadaan komponen utama untuk pembangkit listrik tenaga surya, khususnya untuk mini-grid. Para pembicara melanjutkan dengan membahas pengalaman mereka dalam mengembangkan proyek mini-grid di berbagai daerah terpencil di Indonesia. Mereka membahas tentang isu yang dihadapi dalam mengoperasikan dan mengelola sistem seperti itu, khususnya tantangan pasokan listrik yang kadang terputus dan tidak stabil. Diskusi ini membuka perbincangan antara peserta dan pembicara, khususnya tentang pelibatan pemerintah daerah dalam transfer pengetahuan dan menggunakan badan usaha milik desa untuk mengelola pembangkit listrik.
Pariphan Uawithya membagi pengalamannya dalam mengawasi pembangunan berbagai proyek mini-grid di berbagai negara. Ia menekankan tiga isu utama dalam proyek mini-grid yang sukses. Pertama, pengembang harus diizinkan untuk mendistribusikan dan menjual listrik ke konsumen pada harga yang disepakati oleh masyarakat dan perusahaan. Kedua, penjualan dan layanan untuk proyek tersebut harus bersaing. Proyek akan bisa berkelanjutan jika mini-grid dapat menjual listrik di harga yang lebih rendah dibanding harga yang akan dibayar konsumen untuk mesin diesel atau alternatif lain. Layanan yang diberikan oleh grid ini juga harus andal – bahkan lebih baik dibandingkan listrik dari on-grid.
Isu utama ketiga dalam memonetisasi sistem mini-grid dan menjadikannya berkelanjutan adalah terkait seberapa banyak jumlah listrik yang digunakan masyarakat. Pemasangan mini-grid bukan saja terkait penyediaan energi ke masyarakat tapi juga mendorong konsumsi energi untuk mencapai 1000 kWh per kapita – konsumsi minimum untuk layanan yang layak. Ini berarti mendorong penggunaan listrik yang produktif. Dalam program yang dilaksanakan Pariphan, mereka menciptakan siklus yang bukan saja membuat proyek mini-grid layak dibiayai, tapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat desa.
Sekitar 2.200 hingga 2.500 desa di Indonesia tidak mempunyai akses ke listrik, berdasarkan data 2019 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Akses energi telah ditingkatkan, dan rasio elektrifikasi saat ini ada di angka 99 persen. Tetapi, sebagai negara berpenduduk banyak, masih banyak penduduk yang belum mendapat listrik. Program elektrifikasi konvensional tidak memadai untuk mengalirkan listrik ke desa-desa tersebut, dan akan membutuhkan investasi besar. Ini adalah kesempatan untuk menggunakan sistem off-grid dan mini-grid untuk memperluas akses ke listrik – khususnya listrik dari energi terbarukan.
Penciptaan permintaan listrik adalah kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan pengentasan kemiskinan. Sistem mini-grid bisa menjadi rumit dan harus dikelola dengan baik, khususnya sumber daya manusia dan lembaga. Kita harus melakukan standarisasi sistem yang digunakan dan mengembangkan kapasitas memadai untuk mengoperasikan dan memelihara mini-grid dalam pemeliharaan teknis dan sumber daya manusia.