Sepuluh kaum muda dari desa Mata Redi dan Mata Woga di kecamatan Katiku Tana, Sumba Tengah mempunyai harapan tinggi bagi kehidupan kerja independen mereka di masa depan. Tujuh laki-laki dan tiga perempuan muda – semuanya lulusan SMP atau SMA – dipilih untuk berpartisipasi dalam kursus pelatihan pembuatan furnitur di Balai Latihan Kerja (BLK) Don Bosco di bulan Juni hingga Agustus 2021.
Dalam wawancara dengan direktur BLK Don Bosco, Bruder Ephrem Santos di bulan Agustus 2021, ia menjelaskan lebih lanjut tentang program tersebut, “Kegiatan ini dilaksanakan dengan bekerja sama dengan MENTARI, yang selaras dengan visi dan misi kami untuk memberikan pemberdayaan sumber daya manusia di wilayah timur Indonesia. Kami berharap setelah pelatihan ini [para peserta] akan menjadi lebih independen. Contohnya, mereka dapat menggunakan pengetahuan yang mereka dapatkan untuk diterapkan di pekerjaan mereka di lapangan – atau bahkan membuka usaha mereka sendiri; mereka sekarang dapat mengambil [pangsa pasar di antara] pekerja lokal di wilayah mereka.”
Ia menambahkan bahwa instruktur kursus sangat berpengalaman dalam bidang mereka. Pendekatan mereka dalam pelatihan ini adalah membagi kursus menjadi 20 persen teori – memberikan keterampilan dasar pembuatan furnitur di kelas – dan 80 persen praktik langsung di laboratorium Don Bosco.
Bruder Ephrem berasal dari Filipina, tapi ia telah tinggal di Indonesia selama lebih dari 10 tahun dan memahami tantangan yang dihadapi kaum muda. Kemudian, ia menjelaskan bahwa kursus itu ditujukan bukan saja untuk melengkapi peserta dengan keterampilan dalam membuat furnitur, tapi juga mengembangkan keterampilan bermanfaat yang dapat ditransfer – termasuk pengembangan karakter, motivasi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan teknologi informasi. Tinggal di asrama di balai pelatihan menciptakan rasa disiplin dan mendorong mereka meningkatkan pengelolaan waktu, yang akan bermanfaat ketika mereka kembali ke rumah dan memulai karier baru mereka.
Desa Mata Redi dan Mata Woga adalah bagian dari proyek demonstrasi MENTARI untuk membangun dan mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya berbasis masyarakat yang pada akhirnya akan dikelola sendiri oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk memberikan layanan kelistrikan yang andal guna menciptakan peluang dan mendorong ekonomi setempat. Kursus pembuatan furnitur ada di bawah skema beasiswa diharapkan dapat membangun kemampuan masyarakat lokal dan memberi mereka rasa tanggung jawab atas pembangkit listrik tenaga surya dan peluang baru yang mungkin tercipta.
MENTARI membiayai seluruh biaya kursus untuk peserta yang ikut dalam pelatihan ini. Dan kegiatan ini juga mematuhi protokol kesehatan pandemi COVID-19 yang ketat. Pada akhir pelatihan, peserta yang berhasil diberi sertifikat yang dapat digunakan untuk melamar posisi di Badan Usaha Milik Desa, atau bahkan untuk mengembangkan usaha mereka sendiri menggunakan layanan energi baru yang tersedia di Mata Redi dan Mata Woga.
Sektor funitur sudah cukup menonjol di Mata Redi dan Mata Woga. Banyak warga desa yang bekerja di usaha furnitur lokal. Tapi produktivitas telah terdampak oleh ketiadaan listrik di kedua desa tersebut. Pembangkit listrik tenaga surya baru akan membantu sektor ini mencapai potensi penuhnya.
Membangun usaha mereka dan membanggakan orang tua mereka
Seorang peserta dalam kursus pelatihan pembuatan furnitur adalah Monika Ardila – yang dikenal dengan panggilan Dila – berusia 19 tahun dari Mata Redi. Ia sangat senang bahwa ia memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan karena ia sebelumnya berpikir tingkat pendidikan sekolah menengah pertamanya tidak cukup untuk mengakses kursus tersebut. Tetapi, balai latihan kerja Don Bosco dan saudara laki-lakinya mendorongnya untuk mendaftar, dan ia berhasil diterima di kursus tersebut.
Ia membagi pendapatnya tentang peluang tersebut, “Saya bangga karena telah terpilih bersama dengan teman-teman saya. Saya tertarik dengan dunia kerajinan furnitur karena saya sering membantu di usaha furnitur saudara laki-laki saya. Walaupun saya belum mempunyai keterampilan tinggi, saya sudah mahir menggunakan alat-alat pembuat furnitur!”
Dila jujur mengungkapkan kesulitan yang ia hadapi pada awal proses pelatihan. Ia dengan cepat belajar bahwa kayu untuk furnitur tidak dapat dipotong secara sembarangan. Ada berbagai pengukuran dan teknik yang harus dipelajari, tapi setelah ia mulai mempraktikkannya, ia perlahan-lahan menjadi lebih percaya diri dalam keterampilannya. Ia mengatakan, “Furnitur pertama yang kami belajar buat adalah meja. Dan ternyata saya dapat membuatnya – dan hasil pekerjaan saya bagus. Kami juga belajar untuk membuat kursi dan lemari.”
Dila bercita-cita membuka usaha furniturnya sendiri suatu hari nanti di Mata Redi, tempat ia tinggal dengan orang tuanya. Baginya, tantangan terberat yang ia hadapi ketika ikut dalam pelatihan ini adalah karena ia rindu untuk berkumpul bersama keluarganya, terutama ibunya. Selama kursus, ia hanya dapat pulang ke rumah satu kali karena ia mendapat kabar bahwa ibunya sakit. Ia merasa sedih ketika ibunya bersikeras bahwa ia harus langsung kembali ke balai pelatihan dan fokus pada pelajaran, “Ibu saya mengatakan ia bangga dengan saya karena telah terpilih untuk ikut dalam pelatihan ini. Hal itulah yang mendorong saya untuk berlatih dan belajar dengan cepat, kemudian membuka usaha di rumah sehingga saya dapat membantu dan membahagiakan ibu saya.”
Peserta lain dalam kursus itu adalah Stefanus Kaledi Togu, seorang pemuda berusia 20 tahun dari Mata Redi. Ia mengungkapkan perasaan yang serupa tentang kursus ini dan merasa bersyukur karena ia telah terpilih menjadi peserta dari banyak kaum muda di Mata Redi yang ikut proses seleksi. “Saya sangat senang dapat ikut dalam pelatihan ini. Saya berharap setelah pelatihan, kami dapat membuka usaha furnitur di Mata Redi, sehingga saya mempunyai pendapatan dan dapat membantu orang tua saya membiayai keluarga kami”, ujarnya.