Tidak mudah bagi fasilitator pelatihan GALS (Gender Action Learning for Sustainability/ Pembelajaran Aksi Gender Berkelanjutan) Katalis, Trouce Landukara, yang akrab disapa Mama Oce, memulai diskusi dengan topik sensitif bersama sepuluh pasang suami istri dari Dusun 1 di desa Mata Redi, provinsi Nusa Tenggara Timur: “Untuk memastikan agar tidak ada yang tersinggung dan diskusi berjalan cair dan terbuka, saya mulai dengan pertanyaan, ‘Bapak-bapak dan Ibu-ibu, siapa yang paling banyak melakukan pekerjaan rumah tangga?’ Para suami menjawab, ‘Mama!’ dan para istri berteriak ‘Aku!’ Mereka tertawa dan dan suasana jadi nyaman untuk membahas masalah ini lebih lanjut.”
MENTARI mengadakan pelatihan GALS di desa Mata Redi dan Mata Woga pada Juni 2021 sebagai bagian dari kegiatan penguatan masyarakat sebelum dibangunnya PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) yang baru. GALS adalah metode pemberdayaan untuk mempromosikan hubungan yang lebih harmonis dan bebas kekerasan dalam keluarga dan masyarakat. Metode ini memastikan bahwa perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya memiliki akses, kontrol, manfaat, dan partisipasi yang sama untuk berpartisipasi di seluruh proyek MENTARI. Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk membangun infrastruktur tetapi juga untuk memperkuat masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Pertanyaan Mama Oce tersebut menjadi pembuka diskusi yang efektif karena selain berperspektif gender dan berfokus pada peran reproduktif dan produktif perempuan dalam rumah tangga, pertanyaan tersebut juga menciptakan suasana yang menyenangkan dan kondusif. Diskusi kemudian dimulai dengan menggunakan metode ‘Pohon Keluarga Bahagia’ dan ‘Perjalanan Impian’ untuk mengeksplorasi isu lebih lanjut.
Dalam sesi ‘Pohon Keluarga Bahagia’ dan ‘Perjalanan Impian’, Mama Oce mengajak peserta untuk berdiskusi tentang pola relasi suami dan istri. Mereka berbicara tentang berbagi peran domestik dalam keluarga, seperti mengelola keuangan, mengambil keputusan, dan mengelola aset keluarga. Fokusnya adalah pada peningkatan kesempatan perempuan dalam hal akses, kontrol, partisipasi, kepemilikan dan pengambilan keputusan.
Kegiatan dengan metode ‘Perjalanan Impian’ membekali peserta untuk memanfaatkan listrik yang akan tersedia secara optimal untuk meningkatkan perekonomian dan kualitas hidup mereka. Dalam diskusi tersebut, para ibu tersebut mengatakan bahwa mereka memimpikan dapat menenun di malam hari atau membantu anak-anak mereka belajar di rumah dengan penerangan yang baik ketika PLTS sudah mulai beroperasi di desanya. Beberapa peserta ingin meningkatkan produktivitas dalam usaha mebel atau kemiri. Impian-impian tersebut pada akhirnya adalah dapat membiayai pendidikan anak-anaknya hingga perguruan tinggi dan memiliki rumah yang permanen dan sehat, serta memiliki kendaraan.
“Metode pelatihannya interaktif, menggunakan pendekatan menggambar sebagai media diskusi. Misalnya, untuk latihan ‘Pohon Keluarga Bahagia’, peserta diajak melihat gambar sisi perempuan dan sisi laki-laki, sehingga mereka tahu siapa yang paling banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengambil keputusan atau yang paling memegang kendali atas aset keluarga. Semua orang bisa melihat dari gambar-gambar yang mereka buat sendiri tentang ‘ketidaksetaraan’ peran di rumah,” tambah Rita Kefi, tim MENTARI bagian kesetaraan gender dan inklusi sosial.
Fasilitator pelatihan lainnya, Ariyanto Umbu Kudu, menjelaskan bahwa ia meminta setiap pasangan untuk berdiskusi dan berkompromi dengan metode ‘Pohon Keluarga Bahagia’ untuk mencapai keseimbangan yang lebih. Hasilnya kemudian dijadikan kesepakatan diantara suami dan istri dan berkomitmen untuk menerapkannya di rumah.
“Dari gambar yang mereka buat, para peserta laki-laki menyadari bahwa perempuan memiliki beban kerja yang lebih besar di rumah. Beberapa berjanji tidak akan keberatan lagi melakukan pekerjaan rumah tangga untuk meringankan beban istri. Misalnya dengan mengambil air, mencari kayu bakar, mencuci pakaian, mengasuh anak atau menumbuk padi dan jagung. Para pasangan juga menyepakati untuk mengurangi pengeluaran yang tidak penting, seperti membeli rokok dan minuman keras, membatasi pembelian pakaian dan perhiasan, tidak berjudi, termasuk mengambil keputusan bersama dalam segala hal,” jelasnya.
Salah satu fasilitator pelatihan, Franky Landukara, mengamati bahwa meskipun para peserta akhirnya sepakat tentang perlunya peran yang setara, hal ini tidak mencakup kepemilikan yang sama atas aset keluarga. Hal ini karena tradisi dan adat yang harus dipatuhi.
Peserta mengembangkan hasil dan rencana tindak lanjut selama sesi GALS ini dan mereka akan mendiskusikannya pada pelatihan tahap kedua yang akan melibatkan perwakilan dari pemerintah desa.