Desa Mata Redi dan Mata Woga di Sumba Tengah mempunyai kisah inspiratif. Mereka telah dipilih untuk menjadi percontohan suatu skema baru untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya berbasis masyarakat, sebagai bagian dari program transisi energi MENTARI.
Pelaksanaan proyek ini telah menjadi tempat yang bagus untuk mengumpulkan pelajaran berharga; kedua desa ini telah mendokumentasikan kemajuan mereka pada setiap tahap. Dengan latar belakang ini, 12 fasilitator masyarakat dari Asosiasi Jaringan Humba Hammu dan enam peserta dari Balai Latihan Kerja Don Bosco di Sumba, Nusa Tenggara Timur menghadiri lokakarya pelatihan daring ‘Menulis dan fotografi dasar’ yang berlangsung di dua tempat di Sumba dari 13 hingga 17 Juli 2021.
Laily Himayati, pemimpin pilar Kolaborasi dan Berjejaring MENTARI menjelaskan acara tersebut, “Pelatihan ini akan memberikan keterampilan tambahan bagi kolega di lapangan yang telah secara langsung terlibat dalam pendampingan masyarakat, khususnya di desa Mata Redi dan Mata Woga di Sumba Tengah, tempat program MENTARI [dan masyarakat] membangun pembangkit listrik tenaga surya baru. Temuan menarik, kejadian unik, atau bahkan proses pembelajaran masyarakat yang tidak tercatat akan menjadi kerugian besar bagi proyek ini. Jika tim dan para pemangku kepentingan dapat mendokumentasikan berbagai perkembangan ini dengan tulisan yang menarik dan didukung oleh foto pendukung yang kuat, maka proyek ini dapat mengumpulkan berbagai bukti dan pembelajaran yang bagus.”
Lokakarya pertama yang berlangsung selama dua hari untuk grup Humba Hammu diadakan di kantor Hivos di Sumba. Sedangkan lokakarya kedua untuk staf Don Bosco diadakan di Balai Latihan Kerja Don Bosco. Ruang acara terbatas karena harus mematuhi protokol kesehatan pandemi COVID-19 yang masih berlaku.
Walaupun acara dilakukan secara daring dan dilakukan antara Jakarta dan Sumba, hal ini tidak menghalangi interaksi aktif di antara para peserta. Pihak yang memimpin pelatihan ini adalah Musfarayani, seorang pakar media dan komunikasi masyarakat dari Jelajah Indie Komunikasi. Sesi-sesi tersebut bersifat praktis dan dapat diakses, dengan 70 persen waktu digunakan untuk mengerjakan latihan praktik dan 30 persen untuk teori.
Sesi penulisan mencakup prinsip 5 W + 1 H (what, who, where, when, why dan how) yang menekankan perlunya kerangka kerja konteks yang lengkap. Tetapi, saat memilih cerita mereka, peserta masih harus mengidentifikasi sudut yang paling menarik yang memiliki ‘nilai cerita’ yang paling tinggi. Contohnya, kelompok Humba Hammu, konsorsium delapan organisasi masyarakat setempat yang dipimpin oleh perempuan, mengidentifikasi potensi dalam menggambarkan pendekatan mereka terkait isu gender melalui pendampingan. Grup tersebut percaya bahwa kearifan lokal masyarakat terkait isu gender akan menjadi bahan bacaan yang menarik. Mereka juga mengidentifikasi beberapa tokoh terkenal di masyarakat atau ‘penggerak’ potensial yang kisah profilnya dapat diceritakan. Peserta dari Don Bosco menganggap bahwa bahkan pekerjaan mereka sehari-hari sebagai instruktur dan guru yang membimbing anak muda dari Mata Redi dan Mata Woga mempunyai nilai cerita.
Peserta harus membuat artikel berdasarkan pengalaman mereka menggunakan teknik menulis cerita yang biasa digunakan oleh jurnalis – dalam bentuk berita langsung (cerita langsung) dan fitur yang lebih mendalam.
Dalam sesi fotografi, penekanan diberikan pada prinsip-prinsip komposisi – dan memastikan foto memberikan dampak yang diinginkan dan menyampaikan pesan yang tepat. Peserta belajar cara memaksimalkan fitur kamera dari ponsel pintar. Kamera ponsel memberikan solusi praktis bagi fotografer amatir karena penyetelan kamera biasanya otomatis. Dan hanya diperlukan sedikit perhitungan untuk merekam momen, memilih sudut yang tepat, dan menyeimbangkan komposisi secara lebih kreatif.
Trouce Landukara, salah satu peserta dari Humba Hammu mengatakan bahwa ia bisa meningkatkan keterampilan menulis dan fotografinya secara substansial berkat lokakarya pelatihan tersebut. Ia melihat lokakarya tersebut efektif dan memberinya beberapa prinsip utama dalam penulisan jurnalistik dan fotografi untuk mendokumentasikan kemajuan pembangkit listrik tenaga surya baru.
Yunita, seorang peserta dalam grup Don Bosco, mengungkapkan pendapat yang serupa. Menurutnya, metode keseluruhan yang digunakan dalam pelatihan membuat informasi menjadi mudah dipahami. Satu-satunya hal yang ia sesali adalah akses ke lokakarya yang terbatas karena berlangsung secara daring dan dalam waktu singkat.
Peserta dari Humba Hammu dan Don Bosco berharap akan ada pelatihan serupa atau pelatihan lanjutan di masa depan tapi dilangsungkan dalam waktu yang lebih panjang agar mereka dapat praktik dan mengembangkan keterampilan mereka di lapangan.