Masyarakat desa Mata Redi di provinsi Nusa Tenggara Timur sudah lama menunggu listrik. Jaringan listrik nasional belum menjangau desa tersebut. Jaringan listrik PLN terdekat berada sekitar dua kilometer dari desa. Bahkan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi yang pernah disediakan pemerintah tidak bisa lagi digunakan karena baterai telah melewati usia pakai. Bagaimana kehidupan mereka tanpa listrik dan bagaimana sumber energi terbarukan bisa diakses?
Ketiadaan listrik berdampak pada Puskesmas di desa. Bidan Mariana Rambu Rauna, petugas medis di Puskesmas, bercerita bahwa dia tidak bisa membantu pasien yang ingin memasang alat kontrasepsi atau ibu-ibu yang akan melahirkan karena alat yang dibutuhkan perlu disterilkan dengan menggunakan listrik: “Kami sering didatangi warga yang terluka karena jatuh dari tangga rumah panggung mereka di malam hari. Kalau luka parah, kami harus merujuknya ke Puskesmas Kecamatan karena perlu perawatan dan peralatan medis yang membutuhkan listrik dan penerangan.”
Mama Ines, di sisi lain, prihatin dengan pendidikan anak-anaknya. Jika anak-anaknya tidak banyak pekerjaan rumah, mereka memilih tidur lebih awal untuk menghemat lampu minyak tanah, padahal dengan penerangan yang baik, anak-anak dapat membaca dan memperluas pengetahuan atau dapat bermain dengan orang tua mereka: “Biasanya kami ganti minyak lampunya setiap dua hari sekali seharga 10.000 Rupiah.”
Seorang pemuda, Vinsensius, merasa tertinggal informasi dan hiburan terbaru karena tidak ada listrik dan penerangan. Telepon selularnya pun memiliki jangkauan jaringan yang terbatas dan dia mengalami kesulitan untuk mengisi ulang baterai: “Biasanya kami pergi ke kios di luar desa untuk menumpang isi ulang baterai.”
Banyak warga lain bercerita tantangan dalam melakukan aktivitas mereka karena tidak ada listrik.
Untuk mengatasi hal tersebut, MENTARI melaksanakan proyek percontohan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di desa Mata Redi. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan studi kelayakan.
Gus Firman dari tim MENTARI bagian monitoring, evaluasi dan pembelajaran di lapangan, terlibat dalam penelitian: “Studi kelayakan kami menunjukkan bahwa desa ini sepi setelah jam lima sore. Masyarakat lebih memilih tinggal di dalam rumah. Saat diskusi kelompok, kami juga menemukan bahwa desa ini rentan terhadap pencurian pada malam hari – pencuri sepertinya diuntungkan dalam kondisi desa tanpa penerangan.”
Dalam diskusi kelompok terarah bersama warga desa dalam menilai keamanan gender, tim MENTARI mengetahui bahwa malam tanpa penerangan juga membuat perempuan dan kelompok lanjut usia sangat rentan. Peserta melaporkan beberapa insiden kekerasan terhadap kelompok rentan ini, termasuk kekerasan seksual, dan salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya penerangan.
Untuk mengumpulkan data yang lebih mendalam, Hivos melakukan kajian aspek sosial ekonomi di beberapa desa di Pulau Sumba, termasuk desa Mata Redi. Ini merupakan tindak lanjut dari pra studi kelayakan oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, yang dilakukan dengan dukungan dari Global Green Growth Institute. Dedy Haning, pemimpin proyek percontohan MENTARI, menjelaskan: “Kami telah mengidentifikasi potensi produk lokal di desa-desa tertentu, termasuk Mata Redi. Produk tersebut adalah produk pertanian, seperti kemiri, jagung, dan beras. Kami akan melakukan intervensi teknologi terkait untuk meningkatkan produk dan untuk menyerap kelebihan daya. Kami juga melakukan penilaian untuk melihat skor berdasarkan jumlah penduduk, pola pemukiman, ekonomi, akses pasar, penggunaan energi secara produktif, dan kapasitas kelembagaan lokal. Dari semua penilaian tersebut, desa Mata Redi memperoleh skor tertinggi dibanding dua desa lainnya.”
Hasil studi kelayakan semakin memperkuat program MENTARI memilih desa Mata Redi sebagai lokasi proyek percontohan PLTS dengan kapasitas 95 kWp. Pembangkit tersebut dapat menerangi 220 rumah dan memperluas cakupan proyek hingga ke desa Mata Woga di RT 05 Dusun 1. Potensi desa Mata Redi lainnya adalah keberadaan sumber air yang melimpah dan pompa air tenaga surya yang mengalir ke 13 titik tugu kran. Aset-aset ini perlu dikelola secara khusus untuk memastikan air tidak terbuang percuma.
PLTS di desa Mata Redi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas masyarakat selama lima tahun ke depan.
Masyarakat akan memelihara dan mengelola PLTS dengan tenaga operator dari penduduk desa Mata Redi sendiri. Bekerja sama dengan pusat pelatihan Don Bosco di Sumba Barat Daya, MENTARI memberikan pelatihan pengoperasian dan pemeliharaan sistem PLTS selama tiga bulan untuk 10 orang dari kaum muda yang terdiri dari lima laki-laki dan lima perempuan yang akan berperan sebagai operator.
Salah satu peserta, Jolinda Lubu Lena, mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraannya karena desa mereka akan memiliki listrik: “Saya ingin berkontribusi dan membangun desa saya. Saya juga ingin membahagiakan orang tua saya. Saya tidak ingin adik-adik saya belajar dalam gelap terus menerus. Saya ingin merasakan malam hari lebih terang dan dapat melakukan aktivitas yang lebih produktif.”