Kemitraan antara

Menuju Transisi Energi
Rendah Karbon di Indonesia

Diskusi Terarah (FGD) Sistem Kuota Kapasitas Energi Terbarukan, Kamis 26 November 2020

MENTARI Menjajaki Pendekatan Metode Sistem Kuota Kapasitas Energi Terbarukan Indonesia

Jakarta, 26 November 2020- Program MENTARI (Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia) memberikan dukungan teknis dalam membuat dan menyusun pedoman terkait sistem kuota kapasitas Energi Baru terbarukan (EBT) yang lebih komprehensif, menyusul adanya rancangan Perpres (Peraturan Presiden) yang akan mengatur bidang tarif pelelangan, tender, dan amanah dukungan pemerintah dalam hal meningkatkan pembangunan EBT.

“Dalam level Perpres tersebut ada turunannya yaitu tentang penentuan kapasitas kuota EBT. Karena itu program MENTARI memulai pengkajian terhadap metodenya, sehingga kuota kapasitas ini bisa diterapkan secara terstruktur,” jelas Muhammad Suhud, Lead Policy Program MENTARI saat membuka diskusi virtual tentang FGD (Focussing Group Discussion) Sistem Kuota Kapasitas Energi Terbarukan, Kamis (26/11). Kegiatan ini merupakan bagian kontribusi dan partisipasi MENTARI pada The9th Indonesia EBTKE Virtual Conference and Exhibition 2020 yang berlangsung pada 23-28 November 2020.

Sementara Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM, sangat mengapresiasi dukungan pemerintah Inggris melalui program MENTARI yang juga memberikan bantuan teknisnya terkait dengan sistem kuota EBT ini. Dia mengungkapkan fakta bahwa target EBT mencapai 23% saat ini sesungguhnya baru tercapai 10,9%. Artinya Indonesia membutuhkan akselerasi kecepatan hingga 12% untuk mencapai target EBT 23% pada 2023.

“Waktu tersisa kurang lebih 4-5 tahun ke depan. Posisi pembangkit saat ini jika dikelola dengan metode business as usual dalam kurun waktu tersebut maka sangat tidak mungkin mencapai target 23%. Kita mungkin hanya bisa menambah kapasitas 5000-6000 Megawatt, padahal untuk mencapai 23% pada tahun 2025 kita perlu tambahan 10-14.000 Megawatt. Apa yang bisa kita lakukan untuk akselarasi EBT untuk ini? Karena itu kita perlu memikirkan pembangkit yang bisa dibangun dengan cepat, salah satunya adalah PLTS, misalnya. Kita harus cepat meningkatkannya,”jelasnya saat membuka FGD tersebut.

Dalam paparan kajian metodologi penentuan kuota kapasitas EBT, dijelaskan langsung oleh Policy Associate MENTARI,  I Made Ro Sakhya, dan Aloysius Damar Pranadi, dengan mengkategorikan beberapa pendekatan yang telah dilakukan berbagai negara lain, yaitu sistem sertifikasi dan zona.

“Untuk sertifikasi biasanya dikenal sebagai RE certificate, di UK disebut RE Obligation– sebagai mandatori yang harus dicapai dan ada penalti jika tidak tercapai. Sertifikasi ada yang disyaratkan dan dijualbelikan. Sementara sistem kuota zona, mengacu pada target yang ingin dicapai bersama. Target inilah yang dijadikan sebagai taget acuan RE. Pelaksanaanya dilakukan utilitas, dan Pemda setempat. Sistem kuota zona ini dilakukan di Cina, Italia, Malaysia bahkan Indonesia. Tidak ada sertifikasi, lelang, dan sebagainya,” jelas Damar saat mengawali diskusi.

Dari kajian ini, Darma maupun Made mengusulkan preferensi untuk Indonesia dengan sistem Zona seperti yang  telah dilakukan sebelumnya, karena mempermudah integrasinya dengan RUPTL dari PLN, dan disain insentifnya bisa dilihat dari turunan Perpres terkait tarif, lelang, dan penentuan harga.

Sementara Made juga menjelaskan pendekatan  jenis kuota untuk EBT yang bisa dijadikan preferensi selanjutnya yaitu  Quota Dispatchable  yang dianggap bisa memberikan kapasitas yang pasti, dan secara relatif punya daya yang mencukupi saat dibutuhkan. Jika masuk ke dalam perencanaan sistem, menurut Wayan lagi, maka memberikan kepastian yang lebih panjang.

“Salah satu karaketiristiknya ini memang sangat tergantung dengan kondisi alam namun lebih mudah dihitung. Contohnya mikrohidro jika ada dam, kita bisa atur kapasitas air yang tersedia kapan air bisa digunakan saat tinggi atau rendah, dan ini akan meningkatkan ekonomi secara keseluruhan. Sementara yang non-dispatchable– yang sangat ditakutkan adalah intermitency– misalnya, ada awan atau hal lain yang mengakibatkan perubahan variabelitas yang regular,” tambah Made.

Paparan kajian MENTARI ini juga menghadirkan para ahli untuk memberikan review dan masukkannya, yaitu Nanang Hariyanto, Ketua Lab. Sistem Ketenagalistrikan dan Distribusi STEI, ITB; Djoko Prasetijo sebagai Anggota Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia/Mantan Komisaris PLN Enginering dan Direktur Perencanaan Sistem; serta Musa Marbun, Divisi Perencanaan Sistem PLN.

Dalam catatan masukannya, Nanang mengatakan kajian yang dilakukan MENTARI cukup menarik, dan kini dengan adanya EBT beban dan pembangkit di Indonesia bisa bervariasi, dan proses transisi dari konvensional menuju EBT menjadi tantangan tersendiri. Nanang juga menyoroti masalah fleksibilitas kuotanya jika diberlakukan.  Terutama jika dihubungkan mengukur intermetency dan variabelitas dengan zona atau wilayah. Termasuk menghubungkan jejaringnya jika harus disambungkan ke antar pulau seluruh Indonesia.

Sementara Djoko Prasetijo justru ingin memperjelas kembali apa yang menjadi penetapan kuota tersebut. Karena dibenaknya penetapan kuota adalah pembatasan, sementara jika ada kebutuhan sebuah wilayah ingin kuota lebih, día tidak yakin PLN akan mau melakukannya.

“Soal pendanaan juga menjadi penting. Misalnya di negara lain negara menjamin jika ada kerugian. DPR mereka membuat RE Fund, sehingga hal itu menjadi dasar dalam menentukan kuota. Jadi menurut saya, fiskal suatu negara juga sangat menentukan. MENTARI perlu melihat hal ini juga untuk masuk dalam panduan yang akan dibuat nanti,” tambahnya.

Sementara Musa Marbun mengingatkan terkait soal ketidakpastian sistem yang di lapangan sering dihadapi PLN.

“Konfigurasi bisa berubah. Jawa-Bali saat malam berbeda. Hal lain soal fleksibilitas kontraktual. Bisa jadi sudah siap segala infrastruktur namun apa PLTDnya juga siap, karena mereka juga terikat kontrak,” jelasnya.

Rencananya MENTARI akan memasukkan input dari para ahli dan peserta FGD dalam kegiatan ini dan akan mempertajamkannya kembali dalam FGD berikutnya.  Program MENTARI hadir sebagai program kemitraan antara dua negara dengan jangka waktu empat tahun. Program ini berjalan bawah koordinasi Kedutaan Besar Inggris Jakarta bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai mitra utama. Tujuan dari program ini adalah agar Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi inklusif, penanggulangan kemiskinan, peningkatan rasio elektrifikasi, dan pengurangan dampak perubahan iklim di Indonesia. Terkait dengan program ini MENTARI akan mendukung pemerintah Indonesia dalam mengembangkan sektor energi rendah karbon, terutama terkait penyediaan akses listrik di kawasan timur Indonesia dengan EBT. (Musfarayani/MENTARI)

Tinggalkan Balasan

Related Post

Pelatihan DIgSILENT PowerFactory

Oleh: MENTARI dan REEP2 Dalam mengantisipasi terbitnya Perpres No. 112 pada tahun 2022, MENTARI telah menyusun pedoman penentuan kuota energi terbarukan dengan menggunakan metode Integrasi