Kemitraan antara

Menuju Transisi Energi
Rendah Karbon di Indonesia

Stakeholder’s Dialogue: Meningkatkan Investasi Pembangunan Infrastruktur Energi Terbarukan di Indonesia, Kamis, 26 November 2020

Pendanaan Dan Aturan Tarif Yang Jelas Bisa Meningkatkan Investasi EBT

Jakarta, 26 November 2020 – Konsistensi aturan terutama terkait tarif dan juga pendanaan pembangunan infrastruktur EBT (Energi Baru Terbarukan) menjadi penentu tertariknya para investor pembangunan rendah karbon menanamkan investasinya  di Indonesia. Jika ini diwujudkan sangat mungkin Indonesia bisa memenuhi 13 giga watt elektrifikasi hingga tahun 2025.

Demikian yang terungkap dalam kegiatan, “Webinar Stakeholders Dialogue: Meningkatkan investasi Pembangunan Infrastruktur Energi Terbarukan Di Indonesia,” yang dilakukan di Jakarta, (26/11). Kegiatan ini merupakan salah satu sesi yang diselenggarakan oleh Program MENTARI sebagai sight event pada rangkaian kegiatan Indo EBTKE ConEX 2020.

Narasumber pada kegiatan ini menghadirkan  Cita Dewi dari PLN,  Darwin Krisna Djajawinata dari PT. Sarana Multi Infrastruktur, Prabaljit Sarkar dari InfraCo Asia, Rico Syaalam dari Sesna. Kegiatan ini juga dibuka langsung oleh  Ir. Senda Hurmuzan Kanam, M.Sc., sebagai Kepala Subdirektorat Kerja Sama Ketenagalistrikan pada Ditjen Ketenagalistrikan KESDM, sekaligus Ketua Working Group Brokerage di Program MENTARI. Kegiatan dipandu langsung Iwan Adhisaputra, Brokerage Lead Program MENTARI.

“Dalam skenario investasi di Indonesia, rezim tarif adalah sesuatu yang tidak pernah bisa kita lakukan. Kita tidak melihat kepastiannya. Seperti yang saya ingat 2016 ketika kami mengidentifikasi beberapa peluang tenaga surya di seluruh wilayah. Indonesia menetapkan tarifnya 20 sen, tetapi dalam beberapa bulan ada perubahan. Mungkin maksudnya baik. Mungkin tarif terlalu tinggi. Namun, perlu beberapa waktu bagi investor internasional untuk mengetahui apa yang akan menjadi rezim tarif berikutnya,” ungkap Prabalit Sarkar.

Begitu juga dengan regulasi, yang menurut Prabalijt, membuatnya sebagai investor harus mencerna dan memahami situasinya, sambil menunggu apa yang terjadi berikutnya guna memperhitungkan dampaknya jika harus diimplementasikan.

“Dan yang kedua adalah ketika saya menyinggung pasar modal lokal yang bunganya cukup tinggi dari bank lokal dan juga biaya transaksinya. Biaya pengembangannya cukup tinggi jika kita bandingkan dengan negara lain. Seperti Anda tahu tidak banyak proyek tenaga surya dan angin skala besar di Indonesia. Ada proyek skala besar di panas bumi dan mungkin pembangkit listrik tenaga air tetapi tidak di matahari dan angin,” jelasnya.

Sementara dari PT. SMI Sarana Multi Infrastruktur yang diwakili  Darwin Trisna Djajawinatae mengatakan, sumber dana untuk pembangunan EBT mungkin masih banyak yang bisa  di tap, baik itu di pasar domestik, maupun juga di pasar international. Menurutnya, pasar domestik bisa di dorong OJK (Otoritas Jasa Keuangan), kepada lembaga keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan untuk aktif mendorong pembiayaan berkelanjutan, maka aset-aset dalam bentuk energi terbarukan ini menjadi yang sangat dicari.

“Sebetulnya komitmen dari lembaga-lembaga keuangan cukup tinggi untuk membeli proyek-proyek ini. Hanya kita perlu memenuhi aspek-aspek yang tadi saya sebutkan diawal. Jadi saya merasa, sebetulnya kebutuhan pendanaan dari sisi domestik belum terutilisasi secara penuh. Jadi masih banyak yang bisa kita optimalkan. Tidak hanya dari lembaga keuangan, sumber-sumber pendanaan dalam bentuk green bond maupun juga dalam bentuk-bentuk pemanfaatan sumber dana langsung dari lembaga-lembaga internasional seperti climate fund,” jelas Darwin. 

SMI sendiri sedang mengelola dana explorasi panas bumi, yang berasal dari dana penyerataan modal pemerintah yang mereka leverage dengan sumber dana dari pinjaman luar negeri seperti Bank Dunia dan juga mendapatkan hibah langsung dari Green Climate Fund.

“Dan ini yang kami kelola untuk mengurangi risiko pada saat dilakukan explorasi panas bumi.  Dananya sekarang sudah available dan bisa diakses oleh para pengembang yang memang sudah memiliki WKP baik itu BUMN maupun swasta. Untuk itu kami sangat meng-encourage dalam forum ini juga untuk bisa lebih lanjut memanfaatkan dana-dana tersebut,” tambah Darwin.

Kendati kebijakan  kadang tidak konsisten, namun sejumlah investor lokal EBT (Energi Baru Terbarukan) tetap jalan dan “mengikuti” sistem tarif awal solar PV seperti yang diakukan  PT Sesna (Surya Energi Nusantara). Hal ini dijelaskan Rico Syah Alam dari  CEO PT Sesna. Operasinya tidak hanya menyasar PLN tetapi juga ke private sector, yang menurutnya,  pasarnya juga  besar. Sesna menamai dengan Solar Warrior.

 “Tahun ini kita berhasil juga menawarkan first solar leasing untuk green mining, industri, atau resort sebagai contohnya. Khusus green mining ini, kita tawarkan kepada perusahaan tambang batu bara untuk menggunakan energi matahari,” jelasnya.

Fase pertama ini yang Sesna bangun  yaitu ekitar setengah MW, 500 kWp atau 400 kWp disertai dengan baterai, serta bisa membuktikan bahwa ada sinergi dari solar.

“Jika ini berjalan bagus, bisa dilanjutkan ke fase kedua hingga mencapai 10 MWac, mengkoloborasikan solar PV dengan baterai seperti itu,”tambahnya.

Menurut Rico, regulasinya sudah  cukup baik, namun implementasilah yang menjadi kunci suksesnya proyek. Kedua, pendanaan juga yang menjadi faktor utama keberhasilan suatu proyek.  Ketiga yang paling penting adalah sinkronisasi dari regulasinya dan pendanaannya.

Program Konversi PLTD PLN

Dalam webinar ini juga diberikan kesempatan bagi PLN menyampaikan peran dan programnya, terutama program konversi PLTD menuju EBT sebesar 2 giga watt, yang pada tahap pertama akan dilakukan konversi untuk di 200 lokasi.

“Di 200 lokasi tersebut dengan kapasitas PLTD yang akan dikonvesikan sebesar 225 MW yang semuanya akan di off-grid isolated, sehingga kami rasakan kerjasama dengan MENTARI inii positif dari sisi kami. Harapan kami ini akan menjadi pilot untuk program konversi selanjutnya, sehingga diesel hanya digunakan sebagai back-up saja. Tentunya nanti juga ini menunggu hasil evaluasi lebih lanjut,” jelas Citra Dewi.

Ditambahkan Citra, tantangan terbesar dari program ini adalah lokasinya yang tersebar dan terpisah-pisah, Hal ini yang akan menjadi salah satu bagian yang akan dibahas bersama dengan MENTARI terkait  clustering, dan pendanaannya.  Iwan Adisaputra menyambut gembira perkembangan kemajuan proyek PLN ini karena memang ditunggu oleh para pelaku pengembangan maupun lembaga pembiayaan PLN baik investastor luar . Setidaknya bisa  menunjukan bahwa komitmen Indonesia untuk memenuhi target 23% tahun 2025  diharapkan akan tercapai.

“Dan saya rasa program PLN ini juga membantu untuk memperkuat ketahanan energi kita,” tandas Iwan.

Sebagai penutup webinar, Iwan menyatakan, MENTARI  akan membantu dalan menjembatani gap-gap yang tersebut dalam diskusi. Tidak hanya dari sisi brokerage dalam konteks pembiayaan, tapi juga dalam konteks brokerage dan kompetensi dari sisi know how maupun pengetahuan . (Musfarayani/MENTARI)

Tinggalkan Balasan

Related Post

Pelatihan DIgSILENT PowerFactory

Oleh: MENTARI dan REEP2 Dalam mengantisipasi terbitnya Perpres No. 112 pada tahun 2022, MENTARI telah menyusun pedoman penentuan kuota energi terbarukan dengan menggunakan metode Integrasi